Banner Louis
Thursday, April 18, 2024
Iklan Youtube Properti Terkini

Tai Horikawa: Nakhoda Muda di Tokyu Land Indonesia

Tai Horikawa, Direktur PT Tokyu Land Indonesia

Sudah bukan rahasia, kunci kesuksesan orang Jepang adalah disiplin. Orang Jepang terkenal dengan etos kerja dan produktivitas yang tinggi berkat kedisiplinannya. Dan kedisiplinan itu tetap tertanam dalam diri mereka kemanapun mereka ditugaskan bekerja.

Ini pun menjadi salah satu kunci sukses Tokyu Land menggarap proyeknya di Indonesia. Suksesornya ternyata para profesional muda, pejuang hebat yang mampu menaklukan segala kemelut Ibukota Jakarta.

Salah satunya itu adalah Tai Horikawa, Direktur PT Tokyu Land Indonesia – pengembang properti asal Jepang.

Saya bisa bahasa Inggris tetapi tidak bisa bahasa Indonesia, sehingga saya harus belajar. Termasuk juga kultur, budaya, dan kebiasaan masyarakat Indonesia, terutama di Jakarta.

Jepang (Tokyo) dan Indonesia (Jakarta) memang banyak perbedaan, terutama soal ketepatan waktu,” kisah Horikawa membuka percakapan dengan Property and The City di kantornya Menara Cakrawala, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat.

Horikawa lahir di Dusseldorf, Jerman Barat, 27 April 1973. Ayahnya yang bekerja di perusahaan trading company mengharuskan hidup mereka berpindah-pindah ke kota dan negara lain.

Pendidikan dini atau setingkat taman kanak-kanak (TK) hingga sekolah dasar (SD) sekitar enam tahun dihabiskan di London, Inggris.

Melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah pertama (SMP), Horikawa bersama keluarga kembali ke Tokyo, Jepang.

Meski hidup berpindah dengan kultur dan budaya yang berbeda, namun orangtuanya tetap mendidik Horikawa dengan penuh disiplin sebagaimana prinsip dasar yang dianut masyarakat Jepang. Inilah yang kemudian tertanam pada diri Horikawa hingga saat ini.

Bukan sebuah kebetulan, Horikawa tertarik dan mendalami dunia arsitek. Hidup berpindah ternyata berdampak positif pada pilihannya kini. Horikawa kecil sangat tertarik pada alam dengan lingkungannya yang hijau.

Bahkan tak jarang dia sering mengamati beberapa kota yang telah menerapkan konsep hijau (green city), termasuk juga gedung-gedung yang dibangun dengan konsep yang sama.

Horikawa pun benar-benar mendalami ilmu arsitek saat masuk ke perguruan tinggi di Musashi Institute of Technology di Tokyo sejak 1993 hingga selesai pada 1997. Kemudian melanjutkan jenjang sarjananya ke Master Engineering, hingga menyelesaikannya pada 1999 di universitas yang sama.

Ini berasal dari passion saya dan ketertarikan saya pada lingkungan. Jadi ini memang passion saya sejak dulu,” ungkap Horikawa.

Pada tahun yang sama Horikawa bergabung ke Tokyu Livable Inc., yang merupakan grup perusahaan Tokyu Land Corporation di Jepang. Di sini, Horikawa ditugaskan sebagai agensi perusahaan, bagian dari departemen marketing yang berurusan dengan pembeli Indonesia, sekitar dua tahun.

Setelah itu dia ditugaskan di bagian landed house development selama tiga tahun, dan kemudian bertugas setahun ke divisi condominium apartment. Keterbatasan lahan di Tokyo saat itu, membuat perusahaan kemudian melakukan rekonstruski beberapa bangunan lama menjadi gedung vertikal.

“Saya diberi tanggung jawab untuk menangani residential apartment tapi lebih spesifik ke struktur bangunan. Di bagian ini sekitar enam tahun. Setelah itu selama satu tahun saya ditugaskan ke luar negeri,” terang Horikawa.

Direktur Muda

Horikawa (kanan) memberikan keterangan usai topping off Branz BSD di BSD City (Pius)

Ekspansi bisnis Tokyu Land Corporation di Indonesia semakin gencar dilakukan. Bahkan perusahaan yang sudah masuk Indonesia sejak 1975 ini berencana mendirikan bendera sendiri untuk menggarap sejumlah proyek prestisius.

Mei 2011, Horikawa ditugaskan ke Indonesia dan diserahi tanggung jawab sebagai Direktur di PT Hatmohadji dan Kawan (HAKA) – HAKA merupakan bagian dari Tokyu Fudosan Holdings yang sudah mulai membangun rumah tapak di Indonesia sejak 1981 lalu dengan sekitar 10 proyek.

Menerima tugas dan tanggung jawab dengan sederet rencana besar, apalagi harus berpisah jauh dari keluarga dan komunitasnya tak menyurutkan Horikawa. Pengalamannya sekira 12 tahun menangani berbagai proyek Tokyu Land di Jepang menjadi modal berharga baginya.

Horikawa dituntut untuk selalu memberikan masukan akan kondisi pasar dan gaya desain untuk kemudian diaplikasikan, baik dari sisi Jepang maupun Indonesia. Selain itu, dia juga harus bisa menjual produk, hingga me-review desain yang mungkin masih menjadi masalah.

Belum setahun di Indonesia, Horikawa sudah berpartisipasi dalam proyek kondomonium Setiabudi Skygarden, di Jakarta Selatan. Dan ini menjadi kondominium pertama keterlibatan pengembang asal Jepang tersebut.

“Bahasa Indonesia menjadi hambatan saya saat itu. Saya juga harus mengetahui kultur dan budaya di Indonesia. Jadi proyek pertama kami di Setiabudi Skygarden dan sudah selesai tahun ini,” kata ayah dari Hana Horikawa dan Sora Horikawa ini.

Hunian Ekspatriat

Potensi bisnis properti yang terus tumbuh di Indonesia membuka peluang untuk menggarap pasar seksi ini. Apalagi perusahaan juga telah menangkap sinyal pertambahan kaum ekspatriat yang akan terus masuk ke Indonesia.

Tahun 2012, PT Tokyu Land Indonesia resmi berdiri. Horikawa yang sedari awal terlibat dalam dalam proses tersebut pun didaulat sebagai Direktur.

Sejumlah rencana besar telah disiapkan. Peluang tersebut kemudian ditangkap dengan berpartisipasi dalam membangun Axia South Cikarang sebagai hotel dan tempat tinggal bagi kaum ekpatriat Jepang, tahun 2014 lalu.

Kami ingin memperluas dan memperbesar perusahaan ini dan kami mulai bergerak di sektor kondominium dan apartemen. Dan karena saya dianggap punya skill komunikasi, maka saya ditugaskan di Indonesia untuk memulai bisnis kondominium di sini,” jelasnya.

Akhirnya September tahun 2015, Tokyu Land benar-benar jalan dengan bendera sendiri. Proyek pertama diperkenalkan sebagai BRANZ BSD di BSD City, Serpong.

Nama BRANZ disematkan sebagai merek asli dan bergengsi milik Tokyu Land Corporation di Jepang. Dan hanya selisih enam bulan, proyek kedua diperkenalkan yakni BRANZ Simatupang, di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan.

Kedua proyek tersebut sama-sama menempati lokasi strategis yang tak jauh dari komunitas ekspatrait Jepang. Bahkan diperkirakan, penghuni asal Jepang akan menempati 50%-70% ruangan di BRANZ Simatupang.

“Kalau soal harga maka di Simatupang lebih mahal. Tapi lahan di BSD lebih luas sehingga akan lebih banyak fasilitas dan sarana yang akan kami bangun di sana,” ujar Horikawa.

Beda Jepang dan Indonesia

Desain itu berasal dari perbedaan sejarah, kultur, budaya dan lingkungan. Horikawa pun mengamini hal itu. Maka produk BRANZ pun didesain dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang merupakan perpaduan kultur, budaya, dan iklim di Indonesia.

Sebut saja ventilasi yang mungkin akan lebih banyak, atau desain bangunan yang menggunakan kaca low e-glass yang sudah dilengkapi dengan high selective low-e, sehingga mampu meminimalisasi panas dalam ruangan.

Tapi menurut Horikawa, perbedaan yang paling mencolok adalah dari sisi sejarah. Jepang sudah lebih berpengalaman membangun gedung bertingkat sejak 1950an, dengan beberapa isu seperti gempa bumi dan usia gedung tersebut. Dengan begitu, soal konstruksi bangunan yang tahan gempa serta usia gedung sudah bisa ditentukan sejak awal.

“Sehingga Indonesia masih butuh pengalaman dari luar negeri, termasuk juga soal kepastian regulasi bangunan tinggi seperti yang diterapkan di Jepang. Penting juga adalah bagaimana me-maintenance dan membuat gedung itu menjadi lebih menarik,” ungkap Horikawa.

Sementara dari sisi desain ruangannya, orang Jepang lebih suka yang private, mereka tidak ingin dilihat. Berbeda dengan desain Indonesia, dimana living room bisa dilihat langsung.

Ini kemudian diaplikasikan ke dalam ruangan-ruangan di BRANZ, dimana living room tidak dapat langsung dilihat atau diakses.

Demikian halnya jumlah kamar mandi, kalau di Jepang terpisah antara kamar mandi dan toilet, tapi kalau di Indonesia menjadi 1 ruangan.

“Saya ingin mengadopsi yang baik di Jepang dengan Indonesia. Saya ingin mengkombinasikan kultur di Jepang dan Indonesia. Jadi proyek kami ini bukan hanya untuk orang Jepang saja, tetapi kami desain untuk siapa saja yang tinggal di Indonesia,” kata suami dari Tomoko ini.

Antara pembeli Jepang dan Indonesia pun punya karakter yang berbeda. Menurut Horikawa, pembeli Jepang lebih family oriented, sehingga lebih banyak yang beli sebagai tempat tinggal dibanding elemen investasi.

Dengan begitu, orang Jepang akan sangat teliti dan detail dalam memilih desain dan fungsi ruangan tersebut. Sedangkan Indonesia, banyak yang beli untuk berinvestasi, apalagi hunian high rise dengan harga tinggi.

Target

Bersama Tokyu Land Indonesia, sang arsitek asal Negeri Sakura tersebut sudah punya sejumlah rencana yang akan dikerjakan dalam beberapa tahun mendatang. Dua proyek sudah diluncurkan, menanti proyek prestisius lainnya sekira 2017, seperti kondomonium, service apartment, atau office building.

“Ini belum final. Kita tunggu saja apa yang akan kami kerjakan,” ucapnya.

Namun demikian, Horikawa menegaskan bahwa misi utama perusahaannya ke Indonesia adalah bertujuan untuk mendukung pembangunan Indonesia.

“Goal kami adalah mem-provide desain gedung dan pembangunan masa depan di Indonesia,” terang Horikawa.

Untuk melakukan itu, sambung Horikawa, Tokyu Land memulainya dengan membangun pondasi, memperkenalkan brand dan juga melakukan property management.

“Dan untuk masa depan, kita perlu mengedukasi dan berkolaborasi dengan Indonesia. Jadi mimpi saya ke depan juga adalah di manajemen perusahaan ini bisa ada orang Indonesia yang masuk dalam struktur, seperti di posisi general manager,” kata Horikawa mengakhiri obrolan siang itu. [Pius Klobor/Property and The City Edisi 19/2016]

- Advertisement -
Demo Below News

BERITA TERKAIT

Sharp Plasmacluster
RHVAC - 2023

BERITA TERBARU

Demo Half Page